Rabu, 21 Desember 2016

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PERUSAHAAN PEMBIAYAAN TERHADAP NASABAH YANG WANPRESTASI
PROPOSAL SKRIPSI



Oleh :

SATRIA PRADITAMA
No. Mahasiswa : 12410212




PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2016

Latar Belakang
       Seiring dengan berkembangnya zaman, kehidupan manusia semakin kompleks, maka hal ini menuntut manusia untuk menyusuaikan diri dengan adanya perkembangan zaman tersebut sehingga semakin banyak kepentingan dan kebutuhan yang harus dilaksanakan

       Manusia dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak mungkin bisa memenuhi kebutuhannya seorang diri, karena pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang selalu membutuhkan satu sama lain. Dengan adanya hubungan sosial tersebut maka kebutuhan manusia yang dikehendaki dapat terpenuhi dengan bantuan orang lain karena adanya hubungan timbal balik.

       Sekarang ini dengan adanya lembaga pembiayaan konsumen membawa dampak yang positif dalam pembangunan ekonomi masyarakat khususnya masyarakat menengah ke bawah. Lembaga pembiayaan konsumen ini memberi manfaat kepada masyarakat dimana masyarakat lebih mudah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang berupa barang konsumtif  seperti sepeda motor, alat-alat elektronik, mobil, perabotan rumah tangga, dll.dengan pembayaran yang tidak langsung tunai yaitu dengan angsuran .

       Perjanjian Pembiayaan di indonesia muncul karena adanya Keprpres No.61 Tahun 1988 tentang lembaga pembiayaan yang kemudian ditindaklanjuti dalam keputusan Menteri Keuangan RI No.1251/Kmk.013/1988 tentang ketentuandan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan. Kemudian Keputusan Menteri Keuangan RI No.45/Kmk.06/2003 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Lembaga Keuangan Non Bank. Kemudian dilanjutkan dengan Keputusan Menteri Keuangan RI No.448/KMK.017/2000 tentang perusahaan pembiayaan. Kemudian terakhir Keputusan Menteri Keuangan No.172/KMK.06/2002 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Keuangan No.448/KMK.017/2000 tentang Perusahaan Pembiayaan. Sampai saat ini perjanjian pembiayaan belum diatur dalam bentuk UU.[1]

      Selain itu munculnya praktek pembiayaan dengan sistem pembiayaan konsumen disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut :
1.     Karena sulitnya bagi sebagian besar masyarakat mempunyai akses untuk mendapatkan kredit bank yang selalu diikat dengan agunan.
2.     Sistem pembayaran formal melalui koperasi tidak berkembang seperti yang diharapkan.
3.     Sumber dana formal seperti Perum Pegadaian memiliki banyak keterbatasan atau sistem yang kurang fleksibel.
4.     Sistem pembiayaan informal seperti praktek-praktek lintah darat sangat mencekik masyarakat.[2]

  Dalam transaksi pembiayaan konsumen ada tiga pihak yang terlibat, yaitu :
1.     Pihak perusahaan pembiayaan konsumen (pemberi dana pembiayaan atau kreditor)
2.     Pihak konsumen (penerima dana pembiayaan atau debitor)
3.     Pihak supplier (penjual atau penyedia barang)[3]
Maka dalam hal ini ada 2 hubungan kontraktual yaitu :
1)     Perjanjian pembiayaan yang bersifat kredit antara perusahaan dan konsumen
2)     Perjanjian jual beli antara supplier dan konsumen yang bersifat tunai
  
      Dalam perjanjian pembiayaan atau kredit terkandung resiko adanya wanprestasi yaitu pihak yang meminjam atau debitur tidak mampu melunasi kredit pada waktunya dan untuk memperkecil resiko itu biasanya kreditur meminta jaminan kepada debitur. Jaminan inilah yang kemudian menjadi sumber dana bagi pelunasan kredit dalam hal debitur tidak mampu melunasi kredit yang diterimanya. Biasanya jaminan tersebut dibuat dalam bentuk Fiduciary Transfer of ownership (fidusia). Karena adanya fidusia ini, maka biasanya seluruh dokumen yang berkenaan dengan kepemilikan barang yang bersangkutan akan dipegang oleh pihak kreditur (perusahaan pembiayaan) hingga kredit lunas.

      Namun dalam perkembangannya muncullah banyak permasalahan yang timbul dalam perjanjian pembiayaan konsumen. Seperti yang disebutkan diatas tadi yaitu salah satunya adalah wanprestasi yang dilakukan oleh pihak konsumen (debitur) kepada kreditur hal ini tentu akan sangat merugikan pihak kreditur. Dengan adanya wanprestasi yang telah dilakukan oleh pihak debitur biasanya yang terjadi di masyarakat pihak kreditur menyita objek perjanjian pembiyaan tersebut misalnya saja kendaraan, yang seharusnya objek perjanjian tersebut tidak boleh disita dikarenakan dalam perjanjian pembiyaan konsumen barang yang menjadi objek perjanjian tersebut adalah sudah hak milik dari pihak konsumen sebab perjanjian antara pihak supplier dan pihak konsumen sudah selesai yaitu pihak konsumen sudah membeli barang tersebut dengan lunas.

      Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis mencoba untuk membahas dan mengkaji permasalahan tersebut dalam bentuk skripsi yang berjudul :

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PERUSAHAAN PEMBIAYAAN TERHADAP NASABAH YANG WANPRESTASI

Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, maka dapat diambil rumusan masalah pokok yang ditarik secara garis besar sebagai berikut :
1.     Bagaimana perlindungan hukum bagi perusahaan pembiayaan terhadap nasabah yang wanprestasi?
2.     Apa dasar hukum perusahaan pembiayaan menyita kendaraan nasabah perusahaan pembiayaan yang wanprestasi?



Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.     Tujuan Penelitian
Tujuan dalam pembuatan skripsi ini, untuk menjawab pokok permasalahan sebagaimana telah dirumuskan dalam rumusan masalah di atas, yakni :
a.      Untuk mengetahui perlindungan hukum bagi perusahaan pembiayaan terhadap nasabah yang wanprestasi.
b.     Untuk mengetahuui dasar hukum perusahaan pembiayaan menyita kendaraan nasabah perusahaan pembiayaan yang wanprestasi.

2.     Manfaat Penelitian
a.     Manfaat Teoritis yang diharapkan bagi peneliti mengenai skripsi ini adalah dapat dijadikan sebagai bahan masukan serta kepustakaan terhadap perkembangan hukum yang berkaitan dengan perjanjian pembiyaan konsumen.
b.     Manfaat Praktis yang diharapkan bagi peneliti mengenai skripsi ini adalah menambah ilmu pengetahuan bagi peneliti sendiri, masyarakat, para mahasiswa serta yang membaca skripsi ini tentang hukum perdata khususnya hukum kontrak tidak bernama/kontrak inominat yang salah satunya adalah  perjanjian pembiyaan konsumen.

Tinjauan Pustaka
      
Pengertian Perjanjian
           Yang dimaksud dengan perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih (Pasal 1313 KUHPerdata). Yang dimaksud “perbuatan” disini adalah “perbuatan hukum” dan yang dimaksud dengan mengikatkan diri disini adalah saling mengikatkan diri, sebagai contoh dalam perjanjian jual beli penjual terikat untuk menyerahkan barangnya, pembeli terikat untuk membayar harganya.[4]



Syarat Sahnya Perjanjian
            Sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi 4 syarat sebagaimana diatur dalam pasal 1320 KUHper yaitu :
1.     Adanya kesepakatan kedua belah pihak.
2.     Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum.
3.     Adanya obyek.
4.     Adanya kausa yang halal.[5]

Pengertian Wanprestasi
           Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa belanda, yang berarti prestasi buruk.[6] Sedangkan prestasi adalah lawan kata dari wanprestasi adalah hal-hal yang harus dilaksanakan oleh salah satu pihak dalam perjanjian.
            M yahya harahap dalam bukunya segi-segi hukum perjanjian, yang dimaksudkan dengan wanprestasi ialah
      “Pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya maka disini dapat dilihat bahwa seorang debitur disebutkian dalam keadaan wanprestasi, apabila ia dalam pelaksanaan prestasi perjanjian telah lalai sehingga “terlambat” dari jadwal yang telah ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi tidak menurut sepatutnya, jadi dapat dikatakan bahwa wanprestasi adalah apabila debitur tidak memenuhi kewajibannya dalam suatu perikatan, ia dikatakan ingkar janji[7]

Pengertian Perjanjian Pembiayaan
            Istilah perjanjian pembiayaan berasal dari terjemahan bahasa inggris yaitu finance contract. Di dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pembiyaan tidak ditemukan pengertian perjanjian pembiyaan. Namun, di dalam pasal 1 angka 10 Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 45/KMK.06/2003 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Lembaga Keuangan Non Bank telah disebutkan pengertian perikatan-perikatan adalah perjanjian antara LKNB dengan nasabah, termasuk tetapi tidak terbatas pada:
1.     Penutupan polis pada perusahaan perasuransian;
2.     Pendaftaran program pensiun pada dana pensiun;
3.     Perjanjian sewa guna usaha;
4.     Perjanjian pembiyaan konsumen;
5.     Perjanjian anjak piutang;
6.     Pembukaan rekening kartu kredit;
7.     Perikatan antara perusahaan modal ventura dari perusahaan pasangan usaha;
            Definisi ini terlalu luas karena yang diatur tidak hanya antara LKNB dengan nasabah dalam pembiyaan konsumen, tetapi juga lembaga pembiyaan lainnya, seperti asuransi, leasing, anjak piutang, modal ventura,dll. Selain itu, dalam definisi ini yang ditonjolkan hanya subyek hukum, sedangkan obyek hukum kurang ditonjolkan.
             Untuk memperjelas definisi tersebut, harus dicari dan ditemukan dalam doktrin. Munir Fuady, memberikan pengertian tentang kontrak pembiyaan konsumen. Ia mengatakan bahwa:
            “Hubungan antara kreditor dengan konsumen adalah hubungan kontraktual dalam hal ini kontrak pembiyaan konsumen. Dalam hal ini pihak pemberi biaya sebagai kreditor dan pihak penerima biaya (konsumen) sebagai pihak debitur. Pihak pemberi biaya berkewajiban utama untuk memberi sejumlah uang untuk pembelian barang konsumsi, sementara pihak penerima biaya (konsumen) berkewajiban utama untuk membayar kembali uang tersebut secara cicilan kepada pihak pemberi biaya. Jadi, hubungan kontraktual antara pihak penyedia dana dengan pihak konsumen adalah sejenis perjanjian kredit” (Munir Fuady, 2002:166)
           Definisi ini memfokuskan pada sifat hubungan hukum para pihak. Sifat hubungan hukum perjanjian pembiayaan ini adalah sebagai perjanjian kredit. Dalam definisi ini juga tidak secara khusus memberikan pengertian tentang perjanjian pembiayaan konsumen. Oleh karena itu, kedua definisi diatas, perlu disempurnakan. Menurut penulis (Salim HS), yang diartikan perjanjian pembiyaan konsumen adalah:
         “Kontrak atau perjanjian yang dibuat antara pemberi fasilitas dengan penerima fasilitas, dalam hal ini pemberi fasilitas menyediakan dana untuk membeli barang dari penjual barang, untuk digunakan oleh si penerima fasilitas, dan penerima fasilitas berkewajiban untuk membayar pinjaman itu, baik berupa pokok dan bunga, sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan oleh kedua belah pihak”.
           Dalam praktiknya, istilah yang digunakan untuk menyebutkan para pihak pada pembiyaan konsumen adalah pemberi fasilitas dan penerima fasilitas. Pemberi fasilitas adalah perusahaan yang bergerak di bidang pembiyaan konsumen. Penerima fasilitas adalah orang atau badan yang menerima pembayaran dari pemberi fasilitas untuk membeli barang dari penjual. Dalam hal ini yang menjadi obyeknya adalah berupa pinjaman uang dari pemberi fasilitas kepada penerima fasilitas. Pinjaman itu digunakan untuk membayar harga barang dari penjual. Pada umumnya, perusahaan pembiayaan banyak membiayai untuk membeli kendaraan bermotor, baik roda dua maupun roda empat, sedangkan untuk barang-barang bergerak , seperti TV, Tape, Kulkas,umumnya menggunakan perjanjian sewa beli.[8]

Para Pihak dan Objek Perjanjian Pembiayaan Konsumen

Para pihak merupakan pendukung hak dan kewajiban. Dalam kontrak pembiyaan yang dibuat oleh para pihak, tidak ada kesamaan tentang penyebutan para pihak. Namun peneliti dalam menyebut para pihak adalah kreditur dan debitur. Kreditur adalah perusahaan yang bergerak di bidang pembiayaan konsumen. Perusahaan pembiyaan konsumen (Consumers Finance Company) adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan sistem pembayaran angsuran atau berkala oleh konsumen. Debitur adalah orang atau badan yang menerima pembayaran dari kreditur untuk membeli barang dari penjual.
    Pemberian fasilitas pinjaman uang dari kreditur kepada debitur. Yang menjadi objek perjanjian pembiayaan konsumen ini pinjaman itu digunakan untuk membayar harga kendaraan, baik roda dua maupun roda dari penjual atau dealer.[9]

Metode Penelitian
      Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, yaitu penelitian hokum yang menkonsepsikan hokum sebagai norma meliputi nilai-nilai, hokum positif dan putusan pengadilan.




1.     Fokus  Penelitian
a.      Perlindungan hukum bagi perusahaan pembiayaan terhadap nasabah yang wanprestasi.
b.     Dasar hukum perusahaan pembiayaan menyita kendaraan nasabah perusahaan pembiayaan yang wanprestasi.


2. Bahan Hukum
a.      Bahan hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat terdiri dari :
1)     Buku III KUHPerdata
2)     Keppres RI No. 61 tahun 1998 tentang lembaga pembiayaan
3)     UU No.42 tahun 1999 tentang jaminan fidusia
4)     UU No.21 Tahun 2011 tentang otoritas jasa keuangan
b.     Bahan hukum Sekunder, yaitu yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti :
1)     Buku-buku hasil karya para sarjana
2)     Hasil-hasil penelitian
3)     Berbagai hasil  wawancara sebagai hasil penelitian penulis berkaitan dengan permasalahan yang dibahas.
c.      Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan pentunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti :
1)     Ensiklopedia
2)     Kamus,dll.


3.     Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan ialah menelaah semua UU dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hokum yang sedang ditangani atau diteliti.


4.     Pengolahan dan Analisis Data
Data yang terkumpul diolah dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif yang menekankan pemahaman mendalam terhadap masalah yang diteliti, sehingga dapat diambil kesimpulan sesuai dengan pertanyaan yang dibuat peneliti dalam rumusan masalah.

Daftar Pustaka
a.      Buku-buku
1.     Mulyoto. 2011. PERJANJIAN; Tehnik, cara membuat, dan hukum perjanjian yang harus dikuasai. Yogyakarta: Cakrawala Media.
2.     Salim HS. 2015. Hukum Kontrak Perjanjian, Pinjaman, dan Hibah. Jakarta: Sinar Grafika.
3.     Prof. Subekti. 1996. Hukum Perjanjian. Jakarta: PT. Intermasa.
4.     Baros Wan sadjaruddin. 1992. Beberapa Sendi Hukum Perikatan. Medan: USU Press.

b.     Undang-Undang
1.     Pasal 1320 KUHPerdata
2.     Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata





[1] Ratna Arta Windari, S.H., M.H., Hukum perjanjian, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014, hal 74
[2] Munir Fuady, Hukum Tentang Pembiayaan Konsumen, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2002) hal 164.
   Pasal 1338 Ayat 1 KUHPer
[3] Muhammad Chidir, Pengertian-pengertian Elementer Hukum Perjanjian Perdata, (Bandung: Mandar Maju, 1993), hal 166
[4] Mulyoto, PERJANJIAN; Tehnik, cara membuat, dan hukum perjanjian yang harus dikuasai, Yogyakarta: Cakarawala Media, 2011, hal 31

[5] Pasal 1320 KUHPdt yaitu :
a.      Adanya kesepakatan kedua belah pihak.
b.      Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum.
c.       Adanya obyek.
d.      Adanya kausa yang halal.
[6] Prof. Subekti, S.H., Hukum Perjanjian, Jakarta: PT.Intermasa, 1996, Cetakan ke-16, hal 45
[7] Wan sadjaruddin Baros, Beberapa Sendi Hukum Perikatan, USU Press, 1992, hal 7

[8] Dr,H. Salim HS., S.H., M.S. Hukum Kontrak Perjanjian, Pinjaman, dan Hibah. Jakarta: Sinar Grafika, 2015, hal 46-48
[9] Ibid., Hal 53-54

Tidak ada komentar:

Posting Komentar